IDI Menuju Kehancuran Seperti MUI : Ikatan Dokter Indonesia Pecat Terawan dan Bela Dokter Teroris
Jakarta, SI
Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) memecat Dr Terawan hal itu adalah tanda mula kehancuran (IDI). IDI itu sendiri, mereka bertindak persis seperti kelakuan MUI. Tidak
berbeda. IDI sering menyerang pemerintah. Memang sejatinya IDI adalah LSM, sama
seperti MUI. Ada lembaga yang lebih penting dibanding IDI: Indonesia Medical
Council alias Konsil Kedokteran Indonesia yang independen dan langsung
bertanggung jawab ke Presiden.
Yang lebih mengerikan
adalah IDI Sukoharjo membela teroris. Lalau IDI Pusat diam. Artinya sejalan. IDI membuat
hoaks bahwa teroris dokter Sunardi lemah. pakai tongkat segala. Faktanya CCTV
menunjukkan dia bisa jalan normal. Bahkan nyetir pun bisa ngebut. IDI juga menyebut Sunardi sebagai orang baik.
Teroris adalah penjahat, sampah peradaban. Densus 88 sudah benar; membunuh
teroris Sunardi.
IDI meng-glorifikasi dokter teroris Sunardi dengan pernyataan ngawur Arif Budi Satria, bahwa Sunardi berjiwa sosial tinggi. Teroris Sunardi menipu publik untuk menutupi kegiatannya. IDI pun belasungkawa pada teroris Sunardi. Ngawur dan tendensius. Glorifikasi pada teroris
IDI memecat Terawan
menunjukkan kebencian akut. Pamer kekuasaan, merasa bahwa titah IDI adalah
fatwa. dan, IDI sangat membahayakan
masyarakat. IDI memiliki kode etik, ternyata IDI tanpa etika ketika memecat
dokter Terawan, sama saja seperti preman pasar.
Lalu kebencian apa yang
tertanam pada IDI yang begitu membenci dokter Terawan? Sebelum Terawan jadi
Menteri Kesehatan, tersebar surat IDI kepada Jokowi, isinya keberatan Terawan
jika dia jadi menteri.
Jokowi tidak tunduk
kepada tekanan IDI, maka IDI memberikan perlawanan. Gantian IDI tidak mengakui
Konsil Kedokteran Indonesia yang diangkat Jokowi. Untuk membalas dendam IDI
menghantam Terawan yang mengusulkan para anggota KKI.
Carut-marut IDI makin
dalam, tak karuan. Terawan sebagai simbol Jokowi dihantam; dipecat permanen.
Dipecatnya Terawan justru akan membuat cibiran makin dalam ke IDI. Kelakuan IDI
secara principal mirip MUI. Rasa paling benar.
Contohnya, IDI
Sukoharjo harusnya mengecam dokter Sunardi. Bukan berbelasungkawa karena
teroris Sunardi tewas. Karena seperti dituturkan Arif Budi Satria sendiri,
profesi dokter mengedepankan kemanusiaan.
Nah, justru kegilaan
teroris Sunardi menggunakan profesi dokter untuk menutupi kejahatannya.
Pura-pura baik, manusiawi, suka menolong, yang ketika ketahuan belangnya
sebagai teroris, ketika dikejar aparat sebagai anggota organisasi teroris
Jamaah Islamiyah justru melawan dan mengancam nyawa petugas.
Kelakuan Sunardi persis
seperti 6 teroris FPI yang ditembak mati karena melawan petugas di peristiwa KM
50 Tol Cikampek. Glorifikasi dan belasungkawa terhadap teroris adalah
kesalahan. IDI harusnya memberikan sanksi kepada Arif Budi Satria yang berduka
karena teroris Sunardi didor oleh Densus 88.
IDI seperti MUI,
kehilangan marwahnya. MUI pun kena batunya karena beberapa pentolannya adalah
teroris. Di IDI pun anggotanya teroris: Sunardi namanya. Anggota Komisi Fatwa
MUI yang mengriminalisasi Ahok juga teroris. Ketika Sunardi ditembak mati
Densus 88, MUI lewat Anwar Abbas mengecam Densus 88.
MUI dibangun dengan
mencaci-maki pemerintah, berseberangan dengan pemerintah, karena memelihara
kepentingan duit besar 30 tahun: label sertifikasi halal MUI. Wujud negara dalam
negara. Negara kalah karena kedok agama yang dipakai MUI. Kepedean sebagai
penentu benar salah membuat MUI jumawa. Keblinger yang menjadi bahan tertawaan
umat yang waras. Karena MUI melabeli sertifikasi kulkas ada yang halal. Hahaha.
Siapa yang makan kulkas?
Sebagai ormas alias LSM
sepak terjang IDI tidak ada yang berani mengontrol. Sama dengan ormas MUI. Dan,
tidak tahu penyebabnya, sejak lama IDI memusuhi Terawan.
Terlepas dari
kontroversinya dengan dokter Terawan, dunia kedokteran bukanlah dunia berhenti.
Ilmu kedokteran terus berkembang. IDI malah menjadi jumud dan menempatkan diri
persis seperti MUI. Dan, inilah awal kehancuran IDI sebagai ormas dan LSM, yang
memiliki kemiripan perilaku. (Penulis:
Ninoy Karundengred).