Walikota Bogor Diduga Sebagai Dalangnya : Mantan Kepala BPKAD Kota Bogor Hanafi dan Krisna Diduga Ikut Terlibat Penggelapan Dana PDJT Sebesar Rp 5,5 Miliar
Bogor, SI
Ada dua (2) pilihan
hukum terkait dengan masalah dugaan korupsi Badan Pengelola Jasa Transportasi
(BPJT) Kota Bogor, hal itu untuk adanya kepastian penegakan hukum yaitu : 1.
Penyidik Kejari Bogor harus segera menetapkan tersangka para oknum pelaku,
karena tahapan sudah masuk penyidikan. 2. Kalau tidak berani menetapkan tersangka,
apakah penyidik Kejari Bogor mengeluarkan surat SP3, dengan alasan yang jelas,
sebab public sudah menanti keputusan hasil penyidikan dugaan tindak pidana
korupsi tersebut. Hal itu diungkapkan oleh Irianto Ketua LSM Barisan Monitoring
Hukum (BMH) Bogor Raya.
Menurut Irianto, Inti
permasalahan dalam kasus PDJT sangat
jelas, hal itu berawal dari penyematkan di Kasus Sekolah Ibu (SI), yang melibatkan nama Istri Walikota Bogor dengan diawali saudara Pupung berperan sebagai
kepala Inspektorat dengan menyerahkan
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) ke Kejaksaan Negeri Bogor, terkait dengan kasus BUMD PDJT dengan adanya Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) yang tidak terbantahkan beberapa waktu lalu.
Sementara pihak lain, DPRD Kota Bogor menolak keras terkait dana anggaran sebesar
Rp.5,5 M tersebut, bahkan pihak DPRD meminta PDJT itu dibubarkan saja, dengan pertimbangan
BUMD tidak sehat tapi kenapa dipaksakan.
Akhirnya muncul saran dari DPRD Kota Bogor, agar PDJT berganti
nama menjadi Badan Umum Layanan Daearah (BULD),
Di pihak lain Walikota Bogor keukeuh (ngotot) supaya Dana tersedia dengan merekrut saudara
Pangurah dari JAKPRO yang menangani BUMD DKI di Trans Jakarta sebagai Ketua ,Pendalaman
Penyehatan PDJT pada akhirnya bergulir Dana APBD-P Rp. 5.5 M yang digunakan,
namaun PDJT masih tetap merugi.
Dengan adanya Perbuatan
Melawan Hukum, semestinya Dana PDJT harus melalui mekanisme PMP berdasarkan
Perda no. 5 Tahun 2007. Maka hal itulah selera yang menyesatkan dari sikap
Walkota Bogor Bima Aria Sugiarto. Namun pihak Kejari Bogor terkesan penuh
keragu-raguan untuk membawa kasus tersebut hingga ke persidangan di Pengadilan
Tindak Pidaa Korupsi (Tipikor) di Bnadung.
Sementara itu pula, Hanafi yang saat kejadian itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah dan
Aset daerah (BPKAD) Kota Bogor dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya yaiu
suatu tindakan UJI TUNTAN (DUE DILIGENCE) sebagai pemegang kapasitas untuk pihak ketiga, hal
itu merupakan sebuah PELANGGARAN padahal merupakan suatu KEWAJIBAN/KEHARUSAN,
sebagai pejabat negara, maka apakah hal itu kita duga suatu perbuatan namanya turut serta dalam Pasal 55 KUHP?
Lanjut Irianto, karena
dalam hal DUE DILIGENCE karena kapasitas
BPKAD sebagai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk kewajiban penanganannya, akan tetapi hal itu tidak dilakukan DUE DILIGENCE oleh Kepala
BPKAD.
Sebab kalau memang DUE DILIGENCE dilakukan oleh BPKAD ota Bogor maka akan terbongkar semuanya, terkait siapa-siapa saja yang makan Uang PDJT, siapa yang memaikan
PDJT, hal itu yang bakal terjadi kalau
DUE DILIGENCE dilakukan oleh BPKAD melalui Jasa pihak ketiga. Namun Hanafi
berkilah bahwa hal itu tidak ada perintah pimpinan, maksudanya Walikota Bogor.
Pada dasarnya Walikota Bima Arya seharusnya memerintah
BPKAD melaksanakan DUE DILIGENCE ke pihak ketiga, hal itu menjadi suatu kewajiban
bagi Pemerintah Kota Bogor. Untuk
melaksanakan hal tersebut Walikota dan Sekdakot sebagai Ketua Tim
Anggaran. Pemerintah Daerah (TAPD)
seharusnya DI RUNUTAN dalam hal ini ada dalam BAP keterlibatan di kasus PDJT
termasuk saudara Hanafi di kapasitasnya.
Demikian pula Saudara
Krisna dalam kapasitas yang menggunakan Dana APBD-P Rp. 5.5 M jelas bisa terlihat oleh penyidik Kejaksaan Negeri Kota
Bogor, dana dipakai dengan adanya:
1. Faktor Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) tentang DUE DILIGENCE. 2.Menggunakan Alokasi Dana bukan pada tempatnya,
dana buat penyehatan malah digunakan
untuk bayar Konsultan yang tidak ada kegiatannya (fiktif) 3.Dana dipakai buat melantik Kabag dan Kasubag
masa tidak bisa melihat Dana Rp. 5.5M digunakan
hanya untuk 2 kegiatan, selebihnya kemana uang itu bergulir, kami
Husnuzhon kepada saudara Krisna tidak
mungkin berani melakukan tanpa adanya perintah atau sepengetahuan pimpinan, dalam hal ini
Walikota Bogor , saking pusingnya saudara Krisna menghadapi SELERA WALIKOTA pada akhirnya
mengundurkan diri, dan MUSTAHIL WALIKOTA,
SEKDA (PEMBUAT DAN PEMEGANG KEBIJAKAN), INSPEKTORAT
tidak mengetahui penggunaan bergulirnya Dana PDJT, pungkas Irinato. (dip/red)