Derita Sungai Perlu Ditangani Bersama
Bogor, SI
Walaupun ukurannya tidak sebesar sungai-sungai besar di Kalimantan dan Sumatera, Ciliwung cukup dikenal di Indonesia. Maklumlah, sungai yang berhulu di kawasan Puncak Bogor dan bermuara di Teluk Jakarta itu kerap dikaitkan dengan banjir musiman di Jakarta. Di balik keterkaitan itu, memang banyak derita yang sudah dialami Ciliwung. Mulai dari perusakan di kawasan hulu, pencemaran limbah, timbunan sampah, kerusakan lingkungan DAS Ciliwung sampai dengan pendangkalan.
Untuk memperoleh
gambaran utuh mengenai kondisi Ciliwung sebenarnya, Wali Kota Bogor, Bima Arya
terjun langsung menyusuri Ciliwung pada 10 – 11 November lalu. Ia didampingi
para anggota Komunitas Peduli Ciliwung dan Satgas Ciliwung serta didukung
Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) dan unit rescue dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD).
Beberapa hari sebelumnya, telah dilakukan
kegiatan menyusuri Ciliwung
mulai dari bawah Jembatan Satu Duit, Warung Jambu, Bogor menuju delta di kawasan Sukaresmi, sepanjang
2 km. Aktivitas itu bertujuan mewaspadai bencana alam, khususnya banjir
lintasan di wilayah Kota Bogor dan mengobservasi bangunan-bangunan liar di
sempadan sungai. Saat itu tim berhasil mengangkut sampah sekitar 100 karung
atau tiga mobil pick-up. “Paling banyak sampah rumah tangga, sampah masker juga
banyak. Tapi dominasi sampah styrofoam,” ungkap Bima yang kemudian menjadi terinspirasi
melakukan pengaturan penggunaan styrofoam.
Selanjutnya pada tanggal
10 November dimulai penyusuran aliran
dan liku-liku Ciliwung sepanjang 70 km. Hari pertama penyusuran dimulai dari
Sukaresmi di Bogor sampai di Depok untuk singgah bermalam. Pada hari kedua dari
Depok sampai Pintu Air Manggarai, tim dibantu perahu bermotor untuk memudahkan
penyusuran karena alirannya sangat datar. Sesekali perahu motor yang ditumpangi
tim, pun terganggu mesin mati karena tersumbat sampah.
Dari hasil penyusuran mulai
dari Sukaresmi, Depok sampai Manggarai selama 16 jam tersebut, diperoleh
gambaran tentang kondisi fisik, pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
diderita Ciliwung. Pada ruas Bogor sampai dengan Depok, vegetasi pinggiran
sungai relatif masih hijau. Kerusakan mulai terlihat dari Depok sampai
Manggarai. “Warga yang nyampah ke sungai dari Bogor sampai Depok ada 34 titik,
tapi dari Depok sampai Jakarta, ada ratusan titik,” tutur Bima. Tim juga
mencatat ada 11 pabrik tahu dari Bogor sampai Depok dan belasan lainnya dari Depok
sampai Jakarta. Rata- rata mereka
membuang limbahnya ke Ciliwung.
"Datanya ada, kami akan sampaikan ke
pemerintah daerah masing-masing, juga ke Mas Anies (Gubernur DKI Jakarta),”
ungkapnya beberapa saat setelah tiba di Pintu Air Manggarai pada Rabu 11
November. Data itu memetakan semua titik yang menjadi persoalan bencana, baik
timbunan sampah dan limbah lain serta bangunan yang melanggar sepadan sungai. Selain
itu, ia bermaksud menyampaikan hasil pengamatannya itu ke kementerian terkait
dan Presiden Joko Widodo agar Sungai
Ciliwung dapat perhatian untuk dilakukan normalisasi, sehingga vegetasinya
kembali hijau dan dapat menyerap air dari hulu ke hilir serta meminimalisir
luapan banjir.
Hal itu perlu dilakukan
karena menurut Bima, pembenahan Daerah Aliran Sungai (DAS) membutuhkan
perhatian atau atensi dari berbagai kalangan. “Pembenahan ini harus dilakukan
bersama-sama, ada ranahnya gubernur, ada ranahnya balai besar, Kementerian PUPR.
Bagus banget kalau jadi program strategis nasional dan saya mendorong
agar Pak Jokowi bisa memberikan atensi ke Ciliwung,” lanjut Bima ketika
berdialog dengan Komunitas Ciliwung Depok di sela perjalanan ekspedisi itu.
Menurutnya, Ciliwung
adalah urusan bersama. “PR-nya banyak, perlu kerja bareng dari hulu ke hilir.
Kalau kita tidak serius, kalau kita tidak kerjasama, akan begini-begini saja.
Ini lihat datanya. Ketika dari Depok ke Jakarta airnya semakin bau, semakin
cokelat, kiri kanannya semakin banyak timbunan sampah, baik yang dibawa banjir
maupun sampah dari warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai,” katanya. Ia
melanjutkan, “Kalau kita sama-sama serius membuat Ciliwung bersih, kemudian airnya
terserap di hulunya, terserap di Kabupaten Bogor, di Kota Bogor dan di Kota
Depok, maka air yang mengalir ke Jakarta
akan semakin berkurang.”
Bahkan kolaborasi antar komunitas penting
dilakukan agar dapat mengkampanyekan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup
bagi kehidupan masyarakat sekitar. Oleh karenanya, semangat itu harus terus
disuarakan. Di Kota Bogor lanjut Bima, “Kami sudah bentuk Satgas Ciliwung dan sudah
2 tahun ini dianggarkan APBD. Masih banyak perbaikan yang harus dilakukan dalam
hal timbunan sampah dan kebersihan walaupun teman-teman ini aktif full time
setiap hari. Kami ingin yang dilakukan di Bogor juga dapat dilakukan di Depok
dan Jakarta.”
Selain membentuk Satgas
Ciliwung yang tugasnya bersihkan sampah, normalisasi saluran air, edukasi
kepada warga, juga ada kegiatan membangun infrastruktur untuk membentuk kultur.
Di kampung-kampung pinggiran sungai dibangun IPAL (Instalasi Pengelolaan Air
Limbah) dan sistem pengelolaan sampahnya, supaya warga setempat tidak buang
sampah dan buang air sembarangan.
Pada akhirnya, "Kita
berharap Sungai Ciliwung bisa seperti sungai Citarum yang menjadi konsen bagi
Presiden,” katanya. Pembenahan maupun naturalisasi Ciliwung menurut Bima, bukan
hanya sekadar persoalan kebersihan saja, tapi juga menyangkut keselamatan orang
banyak, karena lingkungan hidup yang
bersih adalah penopang kesehatan masyarakat. Jika Ciliwung tertata hingga menjadi bersih dan sehat maka
potensi wisata arung jeram akan sangat diminati oleh masyarakat. Terlebih,
sungai tersebut dapat mencegah banjir, maka manfaatnya akan banyak dirasakan
oleh banyak orang. (dip/adv)