Terjadi
Pelanggaran HAM Para Terdakwa :
Majelis
Hakim di PN Tangerang Menegakkan Hukum
Dengan Cara Melanggar Hukum
Tangerang, SI
Beberapa waktu lalu,
masih di tahun 2020, pernah saya sampaikan "main gila-gilaannya PN Jakarta
Timur"... Main gila mana pada hakekatnya terjadi di semua Pengadilan
Negeri (PN) dengan caranya masing-masing.
Adalah seorang
perempuan baya, yang tanpa alasan dan bukti telah diperlakukan seperti ayam
potong. Menjelang penahanannya habis di tangan Penyidik, diberlakukanlah Pasal
29 KUHAP oleh Ketua PN Jakarta Timur sampai dua kali perpanjangan, sehingga
penahanan pun diperpanjang 2x30 hari. Padahal selama itu tidak ada pemeriksaan
apa pun terhadap Tersangka, yang dianggap telah selesai. Ketua PN Jakarta Timur
beralasan: "Ada ancaman lebih dari 9 tahun..." Kalau pemeriksaan
sudah tidak perlu, untuk apa diperpanjang?
Lalu masuklah Berkas
Perkara ke PN Jakarta Timur... dan Majelis Hakim (MH) pun ditunjuk. Hebat!
Ternyata di Berkas Perkara hanya diajukan dua orang Saksi dan tiga orang polisi
penangkap Tersangka... Tidak ada yang lain! Demikian pula dua Barang Bukti yang
disertakan tidak bisa secara mutlak dijadikan alasan, bahkan ketika
menjadikannya Tersangka!
Seorang Saksi Utama yang
memberatkan harusnya tidak bisa disumpah dan ditolak kesaksiannya, karena
mengaku peminum Obat Sakit Jiwa dan ada di bawah perawatan Dokter Penyakit
Jiwa. Ke tiga polisi yang menangkap Tersangka pun mengaku hanya mendengar
pengakuan dari Saksi Utama ini. Lalu saksi berikutnya tidak hadir dalam tiga
persidangan sekalipun JPU mengaku sudah memanggilnya.
Jadi, bagaimana mungkin
Ketua PN Jakarta Timur dan MH-nya bisa menerima Berkas Perkara yang sedemikian
rupa... Yang tidak memberikan alasan kuat bahwa Tersangka/Terdakwa bisa diancam
hukuman lebih dari 9 tahun?!
Ternyata mereka menjadi
lebih gila lagi! Majelis Hakim meminta Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi
Jakarta untuk memperpanjang lagi penahanan Terdakwa 2x30 hari... lagi-lagi
lewat Pasal 29/KUHAP sialan ini. Maka lengkaplah Pesakitan Perempuan ini berada
11 bulan dalam tahanan.
Dari pihak Terdakwa belum
satu pun Saksi dan Ahli yang sudah disiapkan, diagendakan oleh MH untuk hadir
dalam sidang... Tapi tiba-tiba Terdakwa mau diperiksa... Maka tidak ada cara
lain, selain menghadirkan Pengacara Baru sebagai tambahan. Yaitu Pengacara Baru
yang bisa dan berani menggebrak meja MH.
Majelis Hakim pun
diganti, dan Majelis Hakim baru beserta JPU segera saja meminta negosiasi.
Negosiasi diterima... Seminggu kemudian Putusan dibuat... hari itu juga
Terdakwa dikeluarkan dari Lapas Pondok Bambu dan langsung pulang ke rumah.
JPU dan Majelis Hakim
Melanggar Hukum
Hal yang sama juga, Main
Gila-gilaan oleh Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum pun terjadi di PN Tangerang
Kota. Tidak persis sama, tapi mirip dengan yang di Jakarta Timur... Baik
Terdakwa yang di Jakarta Timur maupun yang di Tangerang Kota adalah hasil kejadian September Crackdown tahun 2019 lalu yang sepenuhnya adalah hasil
rekayasa Polda Metro Jaya... Kejam, tapi Blo-On!
Di PN Tangerang Kota
ada 17 Terdakwa yang terbagi atas 3 Perkara...sebutlah 252 dengan 1 Terdakwa,
253 dengan 10 Terdakwa, dan 254 dengan 6 Terdakwa. Yang 252 dan 253 diancam dengan
Pasal Permufakatan Jahat terkait "bom", yang ancaman hukumannya
maksimal 6 tahun. Sedang yang 254 diancam dengan Pasal Perakitan Bom yang
ancaman hukumannya puluhan tahun dan bisa seumur hidup.
Mungkin karena
sama-sama ada "bom" -nya, Ketua Pengadilan Tangerang menunjuk Majelis
Hakim yang sama untuk ketiga Perkara Pidana itu. Tentulah suatu rekayasa pula,
bahwa JPU-nya juga sama. Sedang Penasihat Hukumnya berbeda-beda tergantung pada
selera masing-masing Terdakwa.
Kegila-gilaan tambah
menjadi-jadi, ketika Sidang Pengadilan nyaris dijadikan satu oleh MH dan dengan
persetujuan JPU... Sedang para Pengacara biasanya "asal ikut" saja...
Memang sidang dibuka dengan nomor perkara berurutan, dimulai dari Perkara 252,
lalu 253 dan kemudian baru 254...
Tetapi para Terdakwanya
datang bersama-sama, bisa saling berhubungan satu-sama-lain, dan yang menambah
gila, berlaku pula Saksi Mahkota, di mana Terdakwa dari Perkara yang satu bisa
menjadi Saksi bagi Terdakwa dari Perkara yang lain.
Semuanya bisa terjadi
"dengan mudah" mengingat
Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri dan Lembaga Pemasyarakatan/Lapas Tangerang
masing-masing bersebelahan sebagai Tetangga Dekat.
Dengan Cara Gila-gilaan
semacam itu terbuka kesempatan terjadinya Pelanggaran Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia/HAM.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana/KUHAP tidak ada mengatur persidangan
"macam pasar" dan "grudugan" di PN Tangerang itu. Jadi,
pasti terjadi pelanggaran terhadap KUHAP.
Disebutkan, antara
lain, bahwa di antara Saksi tidak boleh berhubungan satu sama lain. Dengan cara
sidang macam itu, terlebih-lebih dengan Sidang On-Line akibat Covid-19, sidang
yang adil dan tertib tidak mungkin terlaksana.
Dengan model macam
"pasar" dan "grudugan" begini sudah pasti tidak tercapai
keadilan dan kebenaran sejati. Memang sejak awal Perkara ini sudah tidak layak
untuk disidangkan. Para Terdakwa pun ramai-ramai mencabut hasil BAP-nya di
dalam Sidang.
Mereka mengaku disiksa
selama Proses Penyidikan... ditutup kepalanya dengan kantong plastik macam di
Guantanamo. Bahkan ada yang dilistrik pula bagian-bagian tubuhnya. Bagi Polda
Metro Jaya yang begini-begini bukan cerita baru...
Pada akhirnya, JPU pun
tidak mampu membuat Surat Tuntutan. Dua kali Sidang Penuntutan Jaksa masih
tidak siap. Tentulah pikiran JPU menjadi kacau dengan sidang-sidang macam
"pasar" dan "grudugan" begitu . Apalagi BAP pun sudah
dicabut... Saksi yang menyaksikan perakitan "bom" pun tidak ada...
Tetapi yang paling
menyedihkan adalah terjadinya pelanggaran HAM, di mana baik JPU maupun MH tidak
memperhatikan berapa lama para Terdakwa sudah berada di tahanan. Para Penegak Hukum itu terlalu asyik dengan
Sidang macam di Pasar itu. Tidak lagi diperhatikan, bahwa lamanya Penahanan
sudah mendekati 150 hari. Demikian juga para Penasihat Hukum yang selalu
menganggap MH-nya "bersih"...
Padahal setelah berada
di tangan MH, selesai atau tidak selesai, para Terdakwa sudah harus dikeluarkan
dari Tahanan tidak lebih dari 90 hari. Ini
perintah Pasal 26/KUHAP. Kalau dihitung sejak ditangkap, perlu ditambahkan
120 hari lagi menjadi hampir setahun...
Kalaulah penahanan
harus diperpanjang, tentu saja Penetapan Perpanjangan Penahanan dari Ketua
Pengadilan Tinggi/PT harus terbit sebelum waktu 90 hari habis, yaitu bulan Mei
lalu. Penetapan itu pun tidak pernah ada... Para Terdakwa pun tidak pernah
tahu...
Bagi Terdakwa Perkara
252 dan 253 yang ancaman hukumannya kurang dari 9 tahun, tidak bisa dikenakan
Pasal 29/KUHAP. Sekalipun untuk Perkara 254 dipenuhi syarat perpanjangan dengan
Pasal 29, pada kenyataannya Penetapan dari Ketua PT Jakarta tidak pernah ada.
Karena itu, model
Sidang macam "pasar" dsn "grudugan" di PN Tangerang ini bisa dibilang kacau... dan
yang menjadi korbannya adalah para Terdakwa terkait soal "bom"
itu. Selain mereka harus segera
dikeluarkan dari Tahanan, mereka pun harus dibebaskan dari segala tuduhan.
Sejak awal sudah
diketahui, bahwa September Crackdown adalah rekayasa jahat dari Rezim Penjahat
untuk menyelamatkan Pilpres Jokowi! Bukti "bom"-nya pun tak ada,
selain "bom ikan" yang bisa dibeli di Kampung Akuarium, Jakarta
Utara.Jakarta, 18 Juni 2020. .(BRAVOO SBP#Sri Bintang Pamungkas/red)