Bima
Aria Sugiarto dan Ade Sarip Terkesan Kebal Hukum :
Kejati
Jabar Harus Membuka SP3 Kasus Korupsi
Pembebasan LahanAngkahong Jambu Dua Kota Bogor
Bogor, SI
Beberapa waktu lalu Humas
Kejati Jabar Raymond Ali membenarkan adanya sprindik (surat perintah
penyidikan) terhadap Walikota Bogor Bima
Aria Sugiarto dalam kasus dugaan korupsi (mark-up) pembelian lahan Pasar Warung
Jambu Dua Kota Bogor, seluas 7,302 meter
persegi senilai Rp.43,1 miliar.
Informasi tentang sprindik kasus Angkahong tersebut diketahui dari Sugeng Teguh Santoso (STS) dari Yayasan Satu Keadilan dan Mohammad Sufi dari LSM Gerak Bogor bertemu dengan Humas Kejati Jabar Raymond Ali di Bandung, Jumat (7/9/2018) lalu.
Sprindik yang dimaksud
adalah sprindik yang dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
bernomor, No.Print -59 / 0.2/ FD.1/ 01/2017 tertanggal 31 Januari 2017.
Kasus dugaan mark-up
korupsi pembelian lahan Jambu Dua disidangkan di Pengadilan Negeri Tipikor
Bandung tahun 2016. Kasus itu populer disebut kasus Angkahong. Angkahong
(almarhum) adalah pemilik lahan Jambu Dua. Pemkot membeli lahan tersebut,
direncanakan sebagai tempat penampungan pedagang kaki lima yang terkena
relokasi.
Setelah
vonis PN Tipikor Bandun, kasus ini populer dengan istilah Pleger. Sebab Pleger merujuk pada bunyi putusan majelis
hakim yang menyebutkan bahwa korupsi itu dilakukan bersama-sama dengan Wali
Kota Bogor Bima Arya dan Sekda Ade Sarip Hidayat. Nama Bima Arya dan Ade
Sarip juga disebutkan dalam dakwaan
jaksa penuntut umum.
Bima Aria Walkot Bogor Saat Diperiksa Kesaksiannya di PN Tipikor Bandung sebagai Plager
Bima Aria Walkot Bogor Saat Diperiksa Kesaksiannya di PN Tipikor Bandung sebagai Plager
Karena Istilah pleger terdapat
pada Pasal 55 dan 66 KUHP. Dimana ada empat kategori, yakni pleger (orang yang
melakukan), doen plegen (orang yang menyuruh melakukan), medepleger (orang yang
turut melakukan), dan uitlokker (orang yang membujuk melakukan).
Pleger adalah mereka
yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik
pidana dalam setiap pasal.
Namun demikian, sampai
saat ini belum ada tindakan pro-justisia yang dilakukan terhadap Bima Arya dan
Ade Sarip. Belakangan berkembang isu, hal itu bisa terjadi karena kasus itu
sudah ditutup dengan keluarnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP-3
oleh Kejati Jabar.
Dalam pertemuan tersebut
Sugeng saat itu meminta ketegasan kepada Humas Kajati Jabar Raymond Ali, apakah
Bima Arya dan Ade Sarip sudah ditetapkan sebagai tersangka atau apa benar sudah
ada surat penghentian penyidikan perkara (SP-3).
“Setahu saya, Kajati
Jabar telah menerbitkan sprindik baru tertanggal 31 januari 2017 pasca putusan
perkara Angkahong September 2016 atas para terdakwa RNA, HYP dan IG,” kata
Sugeng mengutip pernyataan Raymond Ali, di Bogor, Sabtu (8/9/2018) lalu.
KPK Diminta Ambil Alih
Kasus Angkahong Atau Lakukan Praperadilan
Sementara iu, Surat
perintah penghentian perkara (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
dalam kasus Angkahong tidak jelas. Oleh sebab itu, ada dua hal yang bisa
ditempuh. Pertama, mengajukan praperadilan, kedua meminta Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengambil alih kasus itu.
Hal ini tersimpul dalam
acara diskusi “NgobrasSTS (Ngobrol Santai Bareng Sugeng Teguh Santoso) di
Savana Cafe, di jalan semeru, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, beberapa waktu
lalu.
Dalam diskusi yang
dihadiri berbagai kalangan termasuk kalangan media, tampil dosen Fakultas Hukum
dari Universitas Indonesia (UI) Junaedi, S.H.,M.S.i.,L.L.M sebagai nara sumber.
Sementara STS yang juga Sekjen Peradi tampil sebagai moderator.
Diskusi yang
berlangsung setiap hari Rabu yang digagas Sugeng Teguh Santoso ini sudah
berlangsung tiga kali. Tema yang diambil masih terkait kasus Angkahong.
Kasus Angkahong sudah
lama menjadi isu publik di Kota Bogor. Kasus ini populer disebut kasus
Angkahong karena terkait dengan dugaan korupsi pembelian lahan Pasar Jambu Dua
milik Angkahong (almarhum).
Kasus itu berawal
ketika lahan seluas 7,302 meter persegi itu hendak dibeli oleh Pemkot Bogor
untuk dijadikan tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL).
Pada awalnya, angka
yang disepakati oleh DPRD Kota Bogor untuk pembelian lahan itu adalah sebesar
Rp 17,5 miliar. Namun, pada APBD Perubahan 2014 dicantumkan anggaran sebesar Rp
49,5 miliar. Pemerintah Provinsi Jawa Barat lalu menyalurkan dana bagi hasil
pajak kepada Pemkot Bogor senilai Rp 35 miliar. Lahan itu kemudian dibeli
seharga Rp.43,1 miliar.
Kasus ini masuk ke
pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2016, tiga terdakwa, yakni mantan Kepala Dinas
UMKM Kota Bogor Hidayat Yudha Priyatna, mantan Camat Tanah Sareal Irwan
Gumelar, dan Ketua Tim Appraisal Roni Nasrun Adnan, dijatuhi vonis 4 tahun
penjara subsider 4 bulan penjara dan denda Rp.200 juta kepada masing masing
terdakwa. Sementara Bima Arya dan Ade Sarip Hidayat disebut dalam putusan sebagai
ikut serta atau pleger.
Sejak itu istilah
pleger sangat populer di Kota Bogor yang mengarah kepada Bima Arya. Bima Arya
dan Ade Sarip Hidayat tidak kunjung diperiksa oleh kejaksaan. Kasus ini pun
seolah dilupakan.
Namun pada Jumat
(7/9/2018) lalu kasus ini hidup kembali,
menyusul informasi yang diperoleh Sugeng Teguh Santoso dari Yayasan Satu Keadailan
(YSK) yang bersama Mohammad Sufi dari LSM Gerak Bogor yang bertemu Humas Kejati Jabar Raymond Ali
di Bandung.
Dalam pertemuan itu,
Raymond Ali menginformasikam bahwa Kajati Jabar sudah menerbitkan Sprindik
(surat perintah penyidikan) kasus Angkahong bernomor, No.Print -59 / 0.2/ FD.1/ 01/2017
tertanggal 31 Januari 2017.
Pemberitaan media massa
di Kota Bogor ramai kembali menyebut kata pleger. Bima Arya dan Ade Sarip
Hidayat diprediksi tinggal menunggu waktu untuk ditetapkan jadi tersangka.
Namun, hanya selang
waktu kurang lebih dua minggu, muncul
informasi terbaru yang menyatakan, Kejati Jabar menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara atau
SP3 bernomor No. 280/ 0.2/RD.1/06/2017 tertanggal 9 Juni 2017.
SP3 inilah yang menjadi
tema bahasan dalam diskusi “NgobrasSTS, yang selalu diawali dengan sajian lagu
Bento, dan di tengah diskusi kerab diselingi lagu-lagu yang bernada kritik
sosial.
Pertanyaan besarnya
adalah, mengapa Kejati Jabar menerbitkan SP3 setelah sebelumnya menerbitkan
sprindik? Dalam diskusi tersimpul bahwa SP3 itu dinilai penuh tanya. Sebab,
bukankah status Bima Arya dan Ade Sarip sebagai pleger merupakan hasil
penyidikan jaksa yang menangani perkara itu?
Dengan adanya putusan
hakim maka status pleger itu dengan sendirinya dapat pula dikatakan sudah
memperoleh pengujian oleh majelis hakim yang mengadili perkara itu.
Dalam putusannya,
majelis hakim menerima dakwaan jaksa dan dimasukkan dalam putusan. Maka
status pleger Bima dan Ade Sarip itu
dapat dikatakan, sudah melalui proses pembuktian di depan pengadilan, atau
setidaknya diyakini kebenarannya oleh majelis hakim.
Karena itu terbitnya
SP3 dalam kasus Angkahong itu dinilai diliputi tanda tanya. Oleh
sebab itu, Sugeng Teguh Santoso yang menyimpulkan hasil diskusi, mengatakan SP3
kasus Angkahong perlu dipertimbangkan untuk di-prapradilankan, atau diminta
kepada KPK untuk mengambil alih. Sugeng sempat menanyakan kepada
peserta apakah kesimpulan itu dapat diterima dan perlu dilaksanakan, dijawab
perserta dengan suara bulat, setuju.(dip/red)