Kadis
PUPR Depok Disebut Pengusul Pertama Proyek Jalan Nangka yang Jerat Nur Mahmudi
Jadi Tersangka di Polres Depok
Kadis PUPR Kota Depok : Manto Jorghi
Depok, SI
Kepala Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kota Depok, Manto Djorghi, disebut sebagai orang
pertama mengusulkan pelebaran Jalan Nangka Kec. Tapos Kota Depok.
Kasus korupsi proyek
Jalan Nangka menjerat mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail dan Sekretaris
Daerah Kota Depok, Harry Prihanto.
Hal ini disampaikan
Wakil Ketua II DPRD Depok, M. Supariyono, saat menjelaskan proyek Jalan Nangka
yang menurut hasil audit BPK merugikan negara Rp 10,7 miliar. "Iya,
diusulkan Pak Manto, ada videonya. Bukti Pak Manto menjelaskan itu ada
penolakan dari Pak Nurhasim (Ketua Komisi A DPRD Depok)," kata Suparyono
di Sukmajaya, Depok (12/12/2018) lalu.
Alasan Nurhasim menolak
proyek pembebasan lahan Jalan Nangka, Suparyono, tak mengingat pasti alasannya
menolak proyek tersebut.
Dia hanya menyebut
Nurhasim dan Manto yang merupakan satu saksi Jalan Nangka sempat berdebat lama
soal proyek rapat Paripurna berjalan.
"Ada beberapa yang
disampaikan pak Nurhasim, saya agak lupa. Pak Nurhasim tinggal di wilayah situ,
dia menolak. Artinya pak Manto sudah menjelaskan. Pak Nurhasim itu diskusinya
lama," ujar dia.
Saat disinggung
pernyataan Wakil Ketua I DPRD Depok, Yeti Wulandari yang mengatakan sejak awal
DPRD Depok 'memotong' penjelasan Manto soal proyek.
Suparyono menduga yang
dimaksud Yeti adalah saat Nurhasim mempertanyakan alasan Manto mengusulkan
proyek pembebasan lahan Jalan Nangka. "Mungkin yang dimaksud meng-cut itu
Pak Nurhasim. Tapi bukan oleh DPRD, oleh Pak Nurhasim sebagai pribadi, sebagai
peserta rapat," tuturnya.
Selain Nurhasim, Ketua
DPRD Depok Hendrik Tangke Allo sempat menolak proyek pembebasan lahan Jalan
Nangka menggunakan APBD perubahan Depok 2015.
Namun berbeda dengan
Hendrik yang membantah DPRD era kepemimpinannya mengesahkan proyek, Suparyono
menyebut saat APBD perubahan disahkan, seluruh anggota DPRD Depok setuju. "Terlepas
dari itu semua, itu dinamika suatu pembahasan. Itu bisa saja, sah saja. Memang
harusnya begitu, DPRD enggak stempel doang. Finally, di Paripurna pak Nurhasim
enggak ada yang komplain," lanjut Suparyono.
Mengenai anggaran yang
diaudit BPKP, Suparyono mengatakan bahwa anggaran yang digunakan untuk
pembebasan bidang tanah di RT 03/RW 01 Kelurahan Sukamaju Baru merupakan APBD Perubahan
Depok tahun 2015 yang disahkan Hendrik.
Pernyataan Suparyono
senada dengan bekas Kasi Pidsus Kejari Depok Daniel De Rozari saat dikonfirmasi
APBD mana yang diaudit BPKP dan digunakan Unit Tipikor Polresta Depok sebagai
dasar menjerat Nur Mahmudi dan Harry sebagai tersangka korupsi. "Iya,
benar (Disahkan Hendrik Tangke Allo). Pembebasan itu di anggaran perubahan.
Jadi APBD murni sudah dianggarkan Rp 6 miliar. Nah di APBD perubahan ditambah
jadi Rp 17 miliar. Yang terealisasi Rp 10 miliar sekian. Benar kata
Kejaksaan," ucap dia.
Sebelumnya, Manto
sendiri memilih bungkam saat ditanya soal peran Dinas PUPR Depok sebagai
pelaksana proyek pembebasan lahan Jalan Nangka.
Meski tahun 2015 sudah
menjabat sebagai Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air yang merupakan
nama Dinas PUPR sebelumnya.
Berulang kali ditanya
wartawan dia tetap menolak buka suara saat ditemui di sela sidang Paripurna
DPRD Kota Depok. "Maaf, maaf. Silakan tanya penyidik. Ini sudah masuk
ranah hukum. Penjelasan sudah saya sampaikan kepada penyidik. Silakan tanya
penyidik," kata Manto (31/8/2018) lalu.
Padahal sejumlah warga
RT 03/RW 01 Kelurahan Sukamaju Baru menyebut adanya kejanggalan dalam proyek
pengadaan lahan.
Di antaranya karena
warga yang menyetujui rumahnya digunakan untuk pelebaran harus mengira-ngira
bidang tanah seluas enam meter yang digunakan dalam proyek pelebaran Jalan
Nangka. "Kami dikasih waktu bongkar bangunan sendiri, tapi enggak dikasih
tahu enam meter itu sampai mananya. Kata orang PU (Dinas PUPR) kami disuruh
kira-kira sendiri bidang tanah yang kena pelebaran. Nah kami bingung, masa kami
yang harus mengukur," ujar Amsari, satu pemilik tanah yang terdampak
proyek (31/8/2018) lalu.
Satu warga lain yang
rumahnya terdampak proyek, Sofiyah (63) mengaku sempat tak ingin menandatangani
penerimaan uang ganti rugi.
Namun saat diminta
datang ke kantor Dinas PUPR untuk menandatangani penerimaan uang ganti rugi
dalam bentuk tabungan Bank BJB.
Pegawai Dinas PUPR yang
ditemuinya mengatakan warga yang menolak menandatangani uang ganti rugi harus
mengikuti persidangan. "Kalau enggak mau tanda tangan waktu itu kayanya
harus ikut sidang di pusat. Karena saya takut ikut sidang jadi saya tanda
tangan. Saya juga enggak mengerti maksud ikut sidang itu seperti apa, cuman
saya takut saja bayangan ikut sidang," kata Sofiyah. (ifan/dip/red)